Jumat, 08 Juni 2012

Syarat dan Rukun Puasa

0 komentar



Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala aalihi wa shohbihi ajma'in.

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ta’ala. Saat ini kami akan menyajikan ke tengah-tengah pembaca mengenai syarat dan rukun puasa. Semoga dengan memahami hal ini dapat memperbaiki ibadah kita.

Syarat Wajib Puasa[1]

Syarat dalam istilah Fiqih adalah suatu yang harus ditepati sebelum mengerjakan sesuatu. Kalau syarat-syarat sesuatu itu tidak sempurna maka pekerjaan itu tidak sah.

Syarat wajibnya puasa yaitu:
  1. Islam,
  2. Berakal,
  3. Sudah baligh[2], dan
  4. Mengetahui akan wajibnya puasa.[3]

Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]

Yang dimaksud syarat wajib penunaian puasa adalah ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa.

Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
  1. Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
  2. Menetap, tidak dalam keadaan bersafar (bepergian).
    Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,

    وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

    Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
  3. Suci dari haidh dan nifas.
    Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
    Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada ‘Aisyah. seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.[5]
    Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ (mengganti di hari lain) puasanya.[6]

Syarat Sahnya Puasa

Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
  1. Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas.
    Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
  2. Berniat.
    Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain.

    Hal tersebut didasarkan pada firman Allah Ta'ala:

    Padahal mereka tidak diperintah melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

    Juga didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini:

    Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya (balasan) bagi setiap amal (sesuai dengan) apa yang ia niatkan.[8]

    Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.

    Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,

    لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ

    “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]

    Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,

    وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ

    “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.” [11]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

    وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

    “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” [12]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” [13]

Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]

Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]

Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]

Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata, "Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju)." Maka beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa."[17]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” [18]  Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.[19]

Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]

Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya. [21]  Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]


Rukun Puasa

Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari [23] . Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.

Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,

إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ

Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam[24] . Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]




[1] Disebut dengan syarat wujub shoum.

[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).

Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)

[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.

[4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.

[5] HR. Muslim no. 335.

[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.

[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.

[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (I/22) dan Shahiih Muslim (VI/48))

[9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin ...”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.

[10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.

[11] Mughnil Muhtaj, 1/620.

[12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.

[13] Idem.

[14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.

[15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).

[16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.

[17] HR. Muslim no. 1154.

[18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.

[19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.

[20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.

[21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.

[22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.

[23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.

[24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.

[25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth
Continue reading →
Rabu, 06 Juni 2012

DUA MANUSIA Dalam Menyambut Ramadhan

0 komentar
DUA MANUSIA
Dalam Menyambut Ramadhan

Ramadhan semakin dekat. Namun tidak semua manusia bersuka cita menyambutnya. Apalagi setiap jelang ramadhan harga barang-kebutuhan pokok melonjak. Dalam kondisi seperti ini masihkah ada orang yang tersenyum menyambut ramadhan?

Al-Balagh edisi kali ini mengangkat dua golongan manusia menjelang kedatangan Ramadhan.

Manusia dalam menyambut bulan ramadhan terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu:
  1. Mereka Yang Menyambutnya Dengan Dukacita

    Orang seperti ini adalah yang merasa berat dengan datangnya bulan ramadhan. Jika ramadhan akan tiba, yang terpikir adalah bagaimana supaya bulan sya’ban yang akan berakhir bisa dimanfaatkan sebaik-sebaiknya untuk melampiaskan syahwat sepuas-puasnya. Karena dalam benaknya ramadhan adalah bulan yang membelenggu. ia mengganggap ramadhan sebagai tamu yang memberatkan. Karena itu, jika ramadhan ini tiba ia harus bersusah payah bersabar bahkan melipat gandakannya. Saat payah seperti itu, yang terbayang adalah suasana indah sebelum ramadhan. Jikapun ia sudah berada di bulan ramadhan, belum tentu ia dapat menuntaskan puasanya, apalagi menjalankan ibadah-ibadah yang dalam pandangannya tidak kalah menyiksanya, seperti shalat tarawih dan membaca al-Qur’an. Menjelang idul fitri, dialah orang yang paling pertama merayakannya dengan meghabiskan sepuluh malam terakhir ramadhan di pusat-pusat perbelanjaan.

    Manusia seperti ini agak kesulitan menghadapi bulan ramadhan karena dua kemungkinan:

    Pertama, mereka sudah terbiasa hidup enak. Tidak ada kenikmatan yang diiklankan kecuali ia sudah cicipi. Sejak dari makanan, minuman, pakaian, sampai seluruh pernak-pernik kehidupan yang melalaikan. Maka, ketika ramadhan datang sirnalah semua kelezatan itu.

    Kedua, pada dasarnya jiwa orang seperti ini kerdil di depan berbagai macam bentuk ketaatan. Berbagai ibadah yang dianjurkan supaya diperbanyak di baulan mulia ini, seperti sebuah batu besar yang hendak dipikulkan kepadanya. Ia bergitu heran melihat orang-orang mondar-mandir dari masjid kerumah melaksanakan shalat jama’ah lima waktu padahal mereka sedang puasa. Ia tidak sanggup membayangkan ada orang yang tahan berdiri sangat lama dalam shalat tarawih. Bisa juga disebabkan orang seperti ini adalah orang yang melalaikan ibadah yang wajib diluar ramadhan. Maka, ibadah apa yang mampu mereka kerjakan di bulan yang mubarak ini. Tapi, masih beruntunglah orang seperti ini karena ia masih memiliki iman yang membuatnya malu jika meninggalkan kewajiban-kewajiban ramadhan. Masih beruntung manusia seperti ini karena ia hidup di lingkungan orang-orang shalih, sehingga ia masih malu jika tidak menjalannkan ketaatan di bulan ramadhan.
  2. Mereka yang menyambutnya dengan sukacita

    Mereka ini yang merasa gembira saat ramadhan datang. Jelang ketibaannya seperti angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi yang menyejukkan jiwanya. Ini dikarenakan

    Pertama, mereka sudah terbiasa puasa.
    Kebiasaan ini membuatnya terbiasa bersabar sehingga saat ramadhan tiba ia begitu enjoy. Mereka ini mengerti betul bahwa ada puasa yang dianjurkan selain puasa ramadhan seperti: puasa Daud, senin kamis, puasa putih (ayyamul bidh), puasa Arafah, puasa syawwal dll. Selain untuk membiasakan diri juga sebagai tambahan taqarrub kepada Allah. Mereka saat ramadhan tiba ia menghadapinya seperti biasa-biasa saja seakan tak ada beban. Berbeda dengan mereka yang tidak terbiasa, puasa ramadhan sangat berat.

    Salafus shalih adalah generasi teladan dalam mengamalkan ibadah sunnah. Disebutkan bahwa, ada seorang jaariyah (budak wanita) yang dijual oleh tuannya kepada tuan yang baru. Sesampai di rumah tuannya yang baru, ia melihat kesibukan seisi rumah. Spontan ia bertanya kepada seisi rumah, “apa yang kalian lakukan ?”. ”Bukankah ramadhan sudah tiba?” sergah tuannya. Spontan jariah tersebut berkata, “apa kalian tidak puasa kecuali dibulan ramadhan ?”. “Demi Allah-lanjut jariah ini-saya datang dari kaum yang seakan-akan setahun bagi mereka seluruhnya adalah ramadhan. Saya tidak butuh kepada kalian, kembalikan saya kepada mereka (tuannya yang lama)”.

    Kedua, mereka mengetahui bahwa tidaklah mereka menahan diri dari berbagai larangan kecuali Ia akan mendapatkan gantinya dari Allah. Terlebih ia mengerti betul makna hadits qudsi,

    الصوم لي وأنا أجز به
    “Puasa itu untukKu, dan Sayalah yang akan membalasnya”

    من ترك شيئا لله عوض الله خيرا منه

    inilah mendasari perasaan orang beriman sehingga mereka begitu ringan menjalankan ketaatan. Semua beban yang dirasakan dalam puasa serta berbagai ketaatan akan diganti Allah di surganya. Seperti yang disebutkan dalam sebuah atsaar

    “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikannya di akhirat denag sesuatu yang lebih baik dari yang ia tinggalkan”.

    Ketiga, mereka mengetahui bahwa ramadhan adalah musim keta’atan yang sangat agung. Mereka tahu bahwa Allah mengganjar dengan ganjaran yang berlipat melebihi dari bulan-bulan yang lain. Maka jangan heran jika mereka begitu antusias dengan kedatangan bulan ramadhan.

Demikianlah gambaran umum kaum muslimin di ambang ramadhan. Kita berharap Allah memasukkan kita ke dalam golongan yang kedua. Mereka yang senantiasa rindu dengan ramadhan dengan doa mereka yang terkenal.

اللهم بلغنا رمضان

“Ya Allah pertemukan kami dengan ramadhan”


Continue reading →

Persiapan Menghadapi Ramadhan

2 komentar
Persiapan Menghadapi Ramadhan

Tidak lama lagi kita akan kedatangan tamu yang mulia lagi terhormat, bulan Ramadhan yang senantiasa dirindukan kedatangannya dan disayangkan kepergiannya.

Bulan yang datang dengan berjuta berkah dan magfirah yang akan membersihkan noda-noda dalam jiwa sang pendosa. Ramadhan adalah kekasih hati, ia bagaikan darah segar yang membangkitkan kembali semangat yang mulai mengendor,ia ibarat oase di tengah padang sahara pelepas dahaga bagi sang pengembara di bawah teriknya sang mentari. Hanya orang fasik dan zhalim yang mengabaikan kehadiran bulan Ramadhan,bahkan mereka mencela,membenci, dan menganggapnya sebagai penjara jiwa yang mengekang hawa nafsu yang senentiasa diperturutkannya.

Namun demikian kita tetap bersyukur, masih banyak kaum muslimin yang melaksanakan puasa, meski harus kita akui dengan jujur bahwa masih banyak pula diantara mereka yang menyambut dan mengisi hari-harinya di bulan Ramadhan dengan penyimpangan-penyimpangan dari apa yang disyariatkan oleh Allah سبحانه وتعلى, diantaranya ada yang menyambutnya dengan pesta, pawai-pawai, bahkan di-antara mereka ada yang mempersiapkan acara begadang yang diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan menjurus kepada kemaksiatan. Sehingga benarlah apa yang disinyalir oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم   dalam sabda beliau :

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ رواه أحمد و ابن ماجه

Betapa banyak orang yang berpuasa bagian yang ia dapatkan (hanyalah) lapar dan dahaga
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Oleh karena itu sebagai seorang muslim hendaklah mengetahui hal-hal yang perlu dilakukan di dalam menyambut bulan suci Ramadhan serta amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana Kita Menyambut Bulan Ramadhan.

  1. Memperbanyak do’a kepada Allah
    Adalah merupakan kebiasaan bagi para generasi yang shalih pendahulu kita dengan memperbanyak do’a sebelum masuknya bulan Ramad-han, sehingga diriwayatkan diantara me-reka ada yang memohon kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan sejak 6 bulan sebelumnya. Mereka juga memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan dan pertolongan di dalam melaksanakan ibadah-ibadah di dalamnya seperti puasa, qiyamul lail, sedekah dan sebagainya.
  2. Bersuci dan membersihkan diri
    Yaitu kebersihan yang bersifat mak-nawi seperti taubat nasuha dari segala dosa dan maksiat. Pantaskah kita me-nyambut tamu yang agung dan mulia dengan keadaan yang kotor?, Pantaskah kita menyambut bulan Ramadhan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya dengan gelimangan dosa?, Bagaimana kita ber-puasa sedangkan shalat masih sering kita lalaikan ? yang mana meninggalkannya merupakan sebuah kekufuran. Bagaima-na kita menahan diri dari segala yang mubah (makan dan minum) kemudian berbuka dengan sesuatu yang haram ? yang merupakan hasil riba, suap dan harta haram lainnya. Bagaimana kita ber-harap puasa kita dapat diterima sedang-kan kita dalam keadaan seperti ini. Renungilah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم

    مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَْيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ رواه البخاري

    Barangsiapa yang tidak meninggal-kan perkataan dusta dan beramal dengannya maka tidak ada bagi Allah kepentingan terhadap puasa (yang sekedar meninggalkan makan dan minum)” (HR. Bukhari)

    Oleh karena itu sebelum pintu taubat tertutup, sebelum matahai terbit dari sebelah barat, sebelum nyawa sampai di tenggorokan maka bersegeralah bertau-bat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Allah سبحانه وتعلى berfirman :

    يَآيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا .... التحريم :8

    Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya...” (QS. At Tahrim:8)
  3. Mempersiapkan jiwa
    Yaitu dengan memperbanyak amal-amal shalih pada bulan Sya’ban karena pada bulan ini bulan diangkatnya amalan-amalan pada Allah. Sebagaimana hadits Usamah bin Zaid t yang diriwa-yatkan oleh Imam An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah yang dihasankan oleh Syaikh Al Albani bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa sepanjang bulan Sya’ban atau beliau memperbanyak puasa di dalamnya kecuali hanya beberapa hari saja beliau tidak melakukannya.
  4. Bertafaqquh (mempelajari) hukum-hukum puasa dan mengenal petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم
    sebelum memasuki puasa seperti mempelajari syarat-syarat diterimanya puasa, hal-hal yang mem-batalkannya, hukum berpuasa di hari syak (meragukan), perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dan dilarang bagi yang berpuasa, adab-adab dan sunnah-sunnah berpuasa, hukum-hukum shalat tarawih, hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang memiliki udzur seperti me-ngadakan perjalanan, sakit, hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fitri dan lain-lain. Maka hendaknya kita ber-ilmu sebelum memahami dan mengamal-kannya. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى :

    فَاعْلَمْ أَنــَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ محمد : 19

    Maka ketahuilah, bahwa sesungguh-nya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan termpat tinggalmu” (QS. Muhammad :19) Didalam ayat ini Allah سبحانه وتعلى mendahu-lukan perintah berilmu sebelum berkata dan berbuat.
  5. Mengatur sebaik-baiknya program di bulan Ramadhan.
    Bila seorang tamu yang agung datang berkunjung ke rumah kita kemudian kita menyambutnya dengan baik tentu kita akan mendapatkan pujian serta balasan dari tamu tersebut, begitu pula dengan bulan Ramadhan yang datang dengan membawa berbagai macam keutamaan. Jika kita menyambutnya dengan persia-pan serta program-program untuk tamu agung ini tentu kita akan mendapatkan keutamaan-keutamaan tersebut.

    Maka dari itu hendaklah kita mengisi bulan suci ini dengan memperbanyak iba-dah shalat sunnat, membaca Al Qur’an, memperbanyak tasbih, tahmid, takbir dan istighfar dan lebih peduli kepada nasib orang fakir dan miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahmi, memuliakan tamu, men-jenguk orang sakit dan ibadah-ibadah lain yang semisal dengan itu guna meraih gelaran mulia dari Allah, yaitu “Taqwa” dimana ia merupakan simbol sejati bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa mengikhlaskan hati dan memurnikan iman yang terpatri lewat amalan ibadah yang relevan dengan hukum syar’i.

Keutamaan Puasa Ramadhan

Berpuasa di bulan Ramadhan selain ia suatu kewajiban individu bagi yang memenuhi syarat, namun ia juga me-nyimpan banyak keutamaan di balik semua itu, diantaranya :

  1. Puasa adalah rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Dan Allah-lah yang akan memberikan balasannya. Dalam hadits qudsi Allah سبحانه وتعلى berfirman :

    نْ حَسَنَةٍ عَمِلَهَا ابْنُ آدَمَ إِلاَّ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ U إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ رواه النسائي

    “Tidaklah seorang anak Adam mela-kukan suatu amalan kebaikan, kecuali akan dituliskan baginya sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat (pahala) kebaikan. Allah سبحانه وتعلى berfirman : “Kecuali puasa maka sungguh puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang me-nentukan ganjaran (pahala)nya” (HR. An Nasaa’i)

    Imam An Nawawi berkata:
    “Dikatakan (bahwasanya Allah sendiri yang akan memberikan pahala orang berpuasa) karena puasa adalah bentuk ibadah yang tersembunyi yang jauh dari perbuatan riya’, hal ini berbeda dengan ibadah shalat, hajji, berjihad, shadaqah dan amalan-amalan ibadah yang zhahir (tampak) lainnya” (Lihat Syarh Shahih Muslim 8:271)
  2. Bagi orang-orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembira-an, kegembiraan ketika ia berbuka dan kegembiraan ketika ia menemui Rabb-nya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

    لِلصَّــائِمِ فَرْحَــتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبـــَّــهُ رواه البخاري و مسلم

    Bagi orang yang berpuasa dua kegembiraan, kegembiraan ketika ia berbuka serta kegembiraan ketika ia menemui Rabbnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
  3. Pengampunan dosa
    Seorang hamba yang berpuasa dan melakukan amal ibadah lainnya karena iman dan mengharap ridha Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diam-puni oleh Allah سبحانه وتعلى . Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersab-da :

    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابــًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رواه البخاري و مسلم

    Barang siapa yang berpuasa Ramad-han karena iman dan mengharap ridha Allah, diampuni dosa-dosa nya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)
  4. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada aroma misk (minyak wangi). Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

    لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْــيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيـْـحِ الْمِسْكِ رواه البخاري و مسلم

    Dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada aroma misk (minyak wangi)” (HR. Bukhari dan Muslim)
  5. Terdapat waktu yang mustajab.
    Bagi yang berpuasa ada waktu, yang mana apabila ia berdo’a pada waktu tersebut, maka do’a itu tidak tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

    إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ رواه ابن ماجه

    Sesungguhnya orang-orang yang ber-puasa pada saat berbuka mempunyai waktu dimana do’anya tidak tertolak” (HR. Ibnu Majah)
Ya Allah kami rindu dengan bulan Ramadhan, maka pertemukanlah kami dengannya dan berilah kami kekuatan untuk beribadah didalamnya sebagai-mana yang Engkau cintai dan ridhai. (Al Fikrah)

Penulis : Ustadz Harman Tajang, Lc.
Continue reading →

Artikel Renungan Ramadhan

0 komentar
Continue reading →

Label

Renungan (15) Serba Serbi (8) Amalan (7) Download (6) Mp3 (2) Seputar Hukum (2) Sya'ban (2) Video (2) Resep (1)