Sabtu, 11 Agustus 2012

Akhir Ramadhan Antara Masjid dan Pasar

0 komentar
Tempat yang paling disukai Allah di dunia adalah masjid dan tempat yang paling Dia benci adalah pasar. Ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar.” (HR. Muslim)

Masjid menjadi tempat yang paling dicintai Allah Ta’ala karena ditempat itulah kebanyakan manusia menyembah-Nya, sujud kepada-Nya, menyebut nama-Nya, membaca Kalam-Nya (al-Qur’an), mengajarkan agama-Nya. Masjid adalah tempat terkumpulnya berbagai bentuk peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla.

Lalu kenapa pasar menjadi tempat yang paling dibenci Allah? Mengomentari hadits tersebut Imam Nawawi berkata “karena pasar adalah tempat penipuan, kebohongan, riba, sumpah palsu, ingkar janji dan berpaling dari dzikrullah (mengingat Allah) dan lain sebagainya.”

Pasar adalah tempat yang melalaikan. Dimana kebanyakan manusia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lupa dengan akhirat dikarenakan mengurusi dunia. Dapat kita lihat ketika adzan berkumandang berapa dari mereka yang segera memenuhi panggilan Allah tersebut? Bahkan suara Adzan kadang ditelan oleh hiruk pikuknya suara orang-orang di pasar. Maka tak heran jika seseorang yang masuk pasar dan terlena di dalamnya bisa melewatkan beberapa waktu shalat.

Sekarang ini kita dapati pasar juga sudah menjadi tempat tabarruj (pengumbaran aurat-aurat) wanita. Itu terjadi baik di pasar tradisional terlebih pasar-pasar modern yang bernama mall. Wanita dengan celana pendek tidak canggung-canggung lagi berjalan di tengah pelototan orang-orang yang sengaja melihat ataupun mata-mata yang mungkin tak sengaja melihatnya. Sehingga ketika ada orang beralasan untuk jalan-jalan di pasar hanya untuk cuci mata maka pada dasarnya untuk mengotori mata dan hatinya.

Salman al-Farisi berkata, “Jika engkau bisa, jangan sekali-kali menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan paling akhir keluar darinya. Karena di situlah medan pertempuran dengan setan, dan di sana setan menancapkan benderanya.” (atsar riwayat Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci pasar, maka sudah sepantasnyalah seorang mukmin juga membencinya, dia membenci apa yang dibenci Rabbnya.

Hal ini bukan berarti kita dilarang total untuk pergi ke pasar, namun kita diingatkan agar senantiasa ingat kepada Allah dimanapun kita berada meskipun di tempat-tempat kelalaian seperti di pasar. Tidaklah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu keluar menuju pasar, lalu melewati para pandai besi dan melihat apa yang mereka keluarkan dari kobaran api, kecuali air mata mengalir deras dari kedua matanya. Ketika Al Hasan bin Shalih masuk ke pasar, serta melihat orang yang menjahit dan ada yang membuat sesuatu, maka ia berkata, “Lihatlah, mereka terus bekerja hingga kematian datang menjemput mereka.”

Seorang muslim dan muslimah hendaknya tidak merasa senang untuk terus berada di dalam pasar, tidak merasa betah dan kerasan ketika berada di dalamnya dan tidak mendatanginya kecuali karena ada keperluan dan hajat yang mengharuskan untuk ke sana, apalagi pasar-pasar modern (mall) yang ada saat ini.


Masjid bagi orang beriman

Masjid adalah tempat yang paling dicintai oleh Allah maka seorang mukmin juga akan mencintai masjid, Ia mencintai apa yang dicintai oleh Rabbnya. Hatinya dia tautkan di masjid-masjid Allah. Ia akan gelisah jika ketinggalan shalat berjama’ah di masjid.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)

Memakmurkan masjid menjadi ciri dan hak bagi orang beriman. Mereka adalah orang-orang pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun makna “memakmurkan masjid” ini adalah membangun dan mendirikan masjid, mengisi dan menghidupkannya dengan berbagai ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, menghormati dan memeliharanya dengan cara membersihkannya dari kotoran-kotoran dan sampah serta memberinya wewangian.

Dengan kata lain semua bentuk ketaatan apapun yang dilakukan di dalam masjid atau terkait dengan masjid maka hal itu termasuk bentuk memakmurkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan kabar gembira kepada orang yang terpaut hatinya pada masjid,

“Tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (hari kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun 'alaihi)

Ada perkataan ulama yang menyebutkan “orang yang beriman, yang imannya sejati dia di masjid bagaikan ikan di air, namun sebaliknya orang yang munafiq, yang lidahnya saja mengaku beriman tapi di batinnya tidak, berada di masjid bagaikan burung di dalam sangkar”. Sekalipun sangkarnya dari emas, makanannya cukup, minumannya cukup tapi burung itu selalu mencari celah-celah di mana ia bisa keluar.

Orang beriman betah berada di dalam masjid. Hatinya tenang berada di dalam masjid. Ketika ada persoalan yang menghimpitnya, maka masjid adalah tempat pelariannya. Di rumah Allah itulah dia mengadukan persoalannya kepada Allah Azza wa Jalla.

Tidak sebagaimana orang-orang fasik ketika ditimpa masalah, mereka malah pergi ke tempat maksiat, bersenang-senang dengan kemaksiatan hanya untuk melupakan masalahnya sesaat. Wallahu musta’an.


Fenomena akhir Ramadhan

Pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setiap tahun kita dihadapkan pada sebuah fenomena yang memiriskan. Ketika pertengahan Ramadhan telah berlalu, masjid-masjid yang dulunya ramai kini mulai ditinggalkan. Semakin Ramadhan akan berakhir, maka masjid semakin sepi. Jama’ah masjid yang dulunya mungkin 10 shaf sekarang tinggal 4 shaf saja. Dimana yang 6 shaf? Ternyata orang-orang yang biasa mengisi 6 shaf itu kini sebagian besar menjejali pasar-pasar. Mereka berpindah dari tempat yang paling dicintai oleh Allah ke tempat yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pasar-pasar menjadi sesak. Jam-jam pasar pun semakin panjang. Bahkan ada supermarket yang memasang pengumuman besar-besar bahwa menjelang Idul Fitri mereka buka lebih pagi sampai larut malam! Selain itu mereka membuat pengunjung untuk betah dan “gila belanja” dengan iming-iming diskon.


Menggapai Lailatul Qadr

Dalam bulan Ramadhan ada sebuah malam yang nilainya lebih baik dari pada 1000 bulan (83 tahun lebih). Sebagaimana yang Allah Firmankan dalam al-Qur’an surah al-Qadr (yang artinya):

“…lailatul qadr itu lebih baik daripada seribu bulan…” (QS. al-Qadr : 3)

Ketika ada orang yang beribadah pada malam itu, maka sama seperti ia beribadah lebih dari 83 tahun. Maka celakalah orang yang bermaksiat pada malam tersebut dan rugilah orang yang menyia-nyiakannya dengan melakukan hal yang tidak bermanfaat.

Umur Nabi Adam ‘alaihi salam berusia 1000 tahun. Nabi Nuh ‘alaihi salam berusia 950 tahun. Jadi, rata-rata umat Nabi terdahulu itu memiliki usia yang panjang seperti usia Nabinya, sehingga kesempatan untuk berbuat baik/jahat itu leluasa sekali. Jika dibanding dengan umur umat terdahulu maka umur umat Rasulullah lebih pendek, berkisar 60-70 tahun.

“Umur umatku antara 60 sampai 70 tahun, hanya sedikit dari mereka yang usianya lebih dari itu.” (HR. Tirmidzi)

Namun demikian umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menyamai kebaikan umat-umat terdahulu dengan keutamaan yang diberikan Allah kepada kita yakni lailatul qadr.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa nilai ibadah pada malam itu 1000 bulan sama dengan 83 tahun lebih. Misalnya orang yang sudah meraih 10 kali Lailatul qadar, maka nilai ibadahnya melebihi ibadah seseorang selama 830 tahun terus-menerus beribadah. Subhanallah.

Selain keutamaan tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang beribadah kepada Allah di malam lailatul qadr maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Sekali lagi ini adalah anugerah yang sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat tidak patut untuk disia-siakan.


Kapan Lailatul Qadr?

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan dalam Fathul Bari 42-50 pendapat dalam penentuan lailatul qadr dan yang paling rajih bahwa dia pada malam-malam yang ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Dalam beberapa riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk mencari lailatul qadr pada 10 malam terakhir Ramadhan, lebih spesifik lagi pada malam-malam ganjil,

“Carilah malam lailatul qadr pada tanggal-tanggal ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain,

“Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam yang terakhir pada malam 21, 23, 25 dan 27.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani).

Untuk lebih fokus menggapai keutamaan lailatul qadr ini maka Rasulullah mencontohkannya dengan beri’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan. Dengan beri’tikaf di masjid seseorang memutuskan diri dari urusan-urusan dunia yang melalaikan. Seseorang lebih leluasa untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berbagai amalan ibadah yang disyariatkan-Nya. Tentu saja dengan kualitas dan kuantitas yang baik karena kita terlatih untuk meninggalkan kesenangan jasmani sehingga hati bertambah khusyu’ dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tikaf di masjid memperbesar kemungkinan untuk menggapai lailatul qadr.

Kalaupun tidak bisa sepenuhnya I’tikaf di masjid karena tuntutan pekerjaan kita dalam mencari nafkah pada siang harinya, namun jangan juga kita tinggalkan sepenuhnya. Sebagaimana kaidah yang mengatakan, “Jika tidak bisa mendapatkan semuanya, jangan meninggalkan semuanya.” Minimal kita hidupkan malam-malamnya dengan shalat lail, tadarrus al-Qur’an, dzikir, berdoa ataupun ibadah lainnya di masjid.


Ramadhan terakhir

Jika pada malam-malam sebelumnya kita telah sungguh-sungguh dalam qiyamullail (shalat tarwih), tadarrus al-Qur’an dan ibadah lainnya, maka di 10 malam ini kesungguhan itu lebih dituntut lagi. Semangat beribadah harus lebih ditingkatkan lagi. Jika diibaratkan pelari yang hampir mendekati garis finish maka inilah saat-saat untuk lebih memacu diri. Bukan malah mengendorkan semangat dan mengisi waktu dengan hal yang tidak bermanfaat.

Anggap saja ini Ramadhan terakhir buat kita. Di tahun depan kesempatan ini belum tentu berulang lagi. Jika demikian kesempatan untuk beribadah setara 83 tahun lebih mungkin hanya kali ini saja! Wallahu musta’an.[]

(Zainal Lamu)
Continue reading →
Kamis, 26 Juli 2012

Boleh Jadi Ini Ramadhan Terakhir Kita

0 komentar

     Boleh      Jadi     INi
  raMadhan         
        Ter
akhir   Kita



Tak dapat dipungkiri, jika seseorang mengunjungi suatu tempat atau bertemu seseorang dan merasa bahwa ia takkan bertemu lagi dengan orang itu atau tidak kembali ke tempat itu, maka ia akan bersemangat memanfaatkan keberadaannya di tempat itu. Ia akan memaksimalkan pertemuan tersebut, tidak menyia-nyiakan momen yang belum tentu akan kembali tersebut.

Oleh sebab ini, ketika para sahabat mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyampaikan nasihat yang menyentuh, yang menggetarkan hati, membuat mata-mata mereka menangis, mereka merasa bahwa seakan-akan itu adalah nasihat terakhir. Oleh karena ini, mereka meminta wasiat kepada Rasulullah. Nampaknya ini adalah nasihat perpisahan, berwasiatlah kepada kami, Pinta salah seorang dari mereka. Saat itu mereka benar-benar merasakan suasana perpisahan yang momennya tidak akan terulang.

Semakna dengan ini, ketika Nabi menunaikan haji wada’ (perpisahan) dan beliau merasa, beliau tidak akan berjumpa lagi dengan umatnya dalam forum yang sama di dunia ini. Maka beliau merangkum wejangan beliau dalam beberapa kalimat yang merupakan intisari dari rangkuman semua isi da’wah beliau. Bahkan beliau dengan terus terang mengatakan, Boleh jadi saya tidak akan bertemu dengan kalian setelah hari ini. Hal ini menunjukkan, bahwa perasaan akan berpisah melahirkan spirit dan semangat yang luar biasa yang kadang tidak terasa pada kesempatan yang biasa.

Dari sinilah kita, memahami rahasia ucapan Nabi kepada seseorang “Jika engkau berdiri shalat, shalatlah seperti seorang yang akan berpisah”. Bayangkan jika ada seorang yang ikhlash, shalat beberapa raka’at sedang ia tahu bahwa ia kan segera meninggalkan dunia ini. Bagaimana ia akan shalat? Sudah pasti ia akan shalat dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan.

Ramadhan datang kepada kita sebagai tamu yang menjamu, dia akan memuliakan kita jika kita terlebih dahulu memuliakannya. Dia datang membawa berbagai berkah, dia mempersemabahkan kepada kita beragam keutamaan. Iya, dia adalah tamu, tetapi justru dia menjamu kita dengan 1001 macam jamuan spesial.  Tetapi boleh jadi ini adalah jamuan yang terakhir darinya.  Lalu mengapa kita tidak menghormatinya?

Namun demikian, bukan berarti kita tidak bergembira dengan kedatangannya. Bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mentabsyir (member berita gembira) para sahabat dengan kedatangan ramadhan. Beliau memberi busyro yang menumbuhkan kerinduan untuk mengecap berkahnya. Busyro yang memancarkan semangat untuk merindui rahmat yang menyertai setiap detak - detiknya. Beliau mengabarkan kepada mereka “Kalian telah didatangi oleh Ramadhan. Bulan berkah. (Pada bulan ini) Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa, pintu-pintu jannah dibuka, pintu neraka ditutup, para setan dibelenggu, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang dihalangi dari kebaikkan malam tersebut, maka ia telah terhalangi dari kebaikkan…..” (HR Imam Ahmad dan An Nasai dishahihkan oleh Syaikh Al Baniy).

Saudaraku , , , , ,
Mari hadirkan kembali rasa akan berpisah dalam semangat ramadhan kita. Mari khususkan bulan suci ini dengan meningkatkan perhatian kita terhadap berbagai amaliyah ramadhan. Hadirkan rasa akan berpisah dengan puasa yang kita jalani.

Setiap tahun kita berpuasa ramadhan, tetapi obsesi sebagian kita sebatas menggugurkan kewajiban.Maka pada ramadhan tahun ini, hendaknya yang menjadi obsesi kita adalah meralisaskan makna puasa yang Imanan wahtisaban agar kita mendapatkan mapunan atas dosa-dosa kita yang lalu.

Setiap tahun kita mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali. Maka Hendaknya pada salah satu pengkhataman kita tahun ini disertai tadabbur, perenungan terhadap makna-maknanya serta komitmen untuk mengikuti petunjuknya, menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangannya.

Pada awal-awal bulan kita begitu antusias untuk mendapatkan shalat berjamaah bersama Imam. Maka sedapat mungkin tahun ini sepanjang bulan kita kita ketinggalan takbiratul ihram bersama Imam.

Kita menghususkan bulan ramadhan untuk memberikan keluasan kepada keluarga dan anak-anak kita dengan berbagai kebaikan duniawi yang sementara. Maka sebisa mungkin pada ramadhan kali ini kita mempesemahkan kepada mereka keluasan berupa gizi ruhiyah dan nutrisi hati, berupa buku bacaan, atau kaset ceramah atau kata-kata nasihat yang bermanfaat buat mereka.

Setiap tahun kita bersedekah, tetapi dengan maksud menolong orang-orang susah yang membutuhkan. Maka pada tahun ini, mari niyatkan sedekah kita untuk membatu diri sendiri. Kita butuh keselamatan dari neraka dengan sedekah tersebut. Kita memerlukan penghapusan dosa dengan sedekah-sedekah tersebut.
Setiap tahun kita . , . , . setiap tahun kita . , , . setiap tahun kita.. , .  Mari pada tahun ini kita melakukan lompatan yang lebih tinggi untuk mengatrol kualitas dan kuantitas ibadah kita. Jangan sampai, ini marupakan ramadhan terakhir kita.

Allaahumma Barik lanaa fiy Ramadhan,wa waffiqna ‘alaa ghtinaamihi bith Thaa ‘aat.wa a’innaa ‘alaa shiyaamihi wa qiyaamihi waj’alnaa min ‘ibaadikal Muttaqiyn. Aamiyn…..
Selamat berbulan ramadhan.
(diadaptasi secara bebas dari “Ruhushiyaam wa Ma’aaniyhi “ karya Syaikh DR ‘Abdul Azizi Musthafa Kamil)
(Tamalanrea Makassar 01/09/1432:04,45)
Al Faqiyr Ilaa ‘Afwi Rabbihi
Syamsuddin Al Munawiy








Continue reading →

Soalan dari Somalia

0 komentar
Continue reading →

Pertanyaan membuat Mufti Menangis

0 komentar


Pertanyaan yang membuat seorang Mufti Saudi menangis

Dalam sebuah acara live di salah satu saluran TV, seorang Syaikh (seorang Mufti) mendapat pertanyaan dari Somalia:

"Apakah puasa Saya diterima (sah) jika kami tidak memilki makanan untuk sahur atau iftar (berbuka)?"

Seketika Mufti itu menangis karena mendengar pertanyaan "Apakah puasa Saya sah jika kami tidak memiliki makanan untuk sahur atau iftar?" :'(

From Islamic Videos

***

Wahai saudaraku, kita masih diberikan nikmat yang sangat banyak yang tak akan pernah terhitung, masihkah kita tidak bersyukur? Wahai saudaraku yang berkelebihan harta, masihkah kalian tidak mau mengeluarkan sebagian harta kalian untuk orang-orang yang kelaparan? Banyak Muslim di sekitar kita atau di luar sedang kelaparan, sedang menderita penindasan, tak berdaya. Kita yang berkelebihan harta kelak akan ditanya kemana saja uang yang kita belanjakan?!

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." (Al-Ma'uun: 1-3)

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." (At-Takaatsur: 1-8)


Renungan untuk kita semua

(Firaas Adams/muslimpress)
Continue reading →
Selasa, 24 Juli 2012

Ceramah · Ustadz Armen Halim Naro · Bersemilah Ramadhan

1 komentar
missing_dir.jpg (108×98)
Download Ceramah
Ustadz Armen Halim Naro

Makalah Bersemilah Ramadhan 
    1.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 1                                                     Download
    2.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 2                                                     Download
    3.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 3                                                     Download
    4.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 4                                                     Download
    5.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 5                                                     Download
    6.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 6                                                     Download
    7.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 7                                                     Download
    8.  Surat al Fatihah.mp3 Bersemilah Ramadhan 8                                                     Download


Continue reading →
Senin, 23 Juli 2012

Kumpulan Ebook Seputar Ramadhan

0 komentar


Seorang yang berpuasa tidak akan berbuka sekalipun manusia tidak ada yang mengetahuinya karena merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah dalam gerak-geriknya. Demikianlah hendaknya kita dalam setiap saat merasa takut dan diawasi oleh Allah di mana pun berada dan kapan pun juga, terlebih ketika kita hanya seorang diri. Apalagi pada zaman kita ini, alat-alat kemaksiatan begitu mudah dikonsumsi, maka ingatlah bahwa itu adalah ujian agar Allah mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang takut kepada-Nya.


Download Ebook Seputar Ramadhan

  1. Download Ebook Khutbah Jum'at persiapan-menyambut-ramadhan
  2. Download Ebook Khutbah Jumat Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal
  3. Download Ebook Khutbah Jumat Bagaimana Menyikapi Ramadhan
  4. Download Ebook Khutbah Jum'at takwa-intropeksi-diri-pasca-ramadhan
  5. Download Ebook Khutbah Jumat Nasihat Setelah Ramadhan Berlalu...
  6. Amalan-Amalan di Bulan Ramadhan
  7. Buku Panduan Ramadhan
  8. Bagaimana Cara Menyambut Ramadhan
  9. 70 Masalah Seputar Seputar Puasa
Continue reading →
Minggu, 22 Juli 2012

Kesibukan Orang-Orang Shalih di Bulan Ramadhan

0 komentar

Bulan Ramadhan, bulan yang paling dinanti kaum muslimin sedunia. Dengan segala keistimewaannya, kedatangan bulan Ramadhan membuat orang-orang shalih semakin bertambah sibuk, dengan ibadah dan amal shalih, ibadah dan amal shalih.
Para salaf adalah orang-orang shalih yang merindu bulan Ramadhan. Mereka terus menanti dan tak henti berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan Ramadhan. Ketika Ramadhan telah tiba, mereka bersungguh-sungguh mengejar pahala serta meninggalkan dosa dan kelalaian. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan emas sekali setahun ini.
Serampai keutamaan bulan Ramadhan
عن كعب، قال: عن الله تعالى اختار من الشهور شهر رمضان واختار من البلاد مكة واختار من الليالي ليلة القدر، واختار الساعات للصلوات، فالمؤمن بين حسنتين فحسنة قضاها وأخرى ينتظرها.
Dari Ka’ab; dia bertutur, “Allah ta’ala telah memilih bulan Ramadhan di antara sekian bulan yang ada. Dia pun telah memilih Mekkah di antara negeri-negeri yang terhampar. Dia telah memilih lailatul qadr di antara beragam malam. Dia telah memilih waktu-waktu tertentu (bagi hamba-hamba-Nya) untuk menunaikan shalat. Karenanya, seorang mukmin berada di antara dua kebaikan. Satu kebaikan telah ia laksanakan, sedangkan kebaikan yang lain masih dinantinya.” (Hilyatul Auliya’, juz 2, hlm. 458)
فجعل ليلة القدر خيرا من ألف شهر وجعل شهر رمضان سيد الشهور ويوم
“Maka Dia menjadikan lailatul qadr lebih baik dibandingkan seribu bulan. Dia juga telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai penghulu seluruh bulan dan hari.” (I’lamul Muwaqqi’in, juz 2, hlm. 73)
قال ابن الطوير: ولم يكن لهم أسمطة عامة في سوى العيدبن وشهر رمضان .
Ibnu Ath-Thuwair berkata, “Tak ada tradisi yang menyeluruh bagi kaum muslimin selain pada dua hari ‘Ied dan bulan Ramadhan.” (Subhul A’sya, juz 2, hlm. 5)
أنه اليوم الذي يستحب أن يتفرغ فيه للعبادة وله على سائر الأيام مزية بأنواع من العبادات واجبة ومستحبة فالله سبحانه جعل لأهل كل ملة يوما يتفرغون فيه للعبادة ويتخلون فيه عن أشغال الدنيا فيوم الجمعة يوم عبادة وهو في الأيام كشهر رمضان في الشهور وساعة الإجابة فيه كليلة القدر في رمضان ولهذا من صح له يوم جمعته وسلم سلمت له سائر جمعته ومن صح له رمضان وسلم سلمت له سائر سنته ومن صحت له حجته وسلمت له صح له سائر عمره فيوم الجمعة ميزان الأسبوع ورمضان ميزان العام والحج ميزان العمر وبالله
“Sesungguhnya, ini adalah hari yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Dalam setiap hari dia memiliki keistimewaan dengan beragam bentuk ibadah, baik yang wajib maupun yang mustahab. Allah –Mahasuci Dia– telah menjadikan satu hari khusus untuk umat setiap agama*, yang mereka habiskan untuk beribadah dan menyingkir dari kesibukan dunia. Hari Jumat adalah hari untuk beribadah. Hari jumat dalam satu pekan, sebagaimana ramadhan dalam satu tahun. Waktu yang mustajab pada hari Jumat bagaikan lailatul qadr pada bulan Ramadhan.
Oleh karena itu, barang siapa yang sukses dan selamat dalam menjalani hari Jumat maka akan sukses pula seluruh hari dalam satu pekannya. Barang siapa yang sukses dan selamat menjalani Ramadhan, sukses pula sepanjang tahunnya. Barang siapa yang sukses dan selamat dalam menunaikan haji, sukses pula seluruh usia. Hari Jumat merupakan timbangan satu pekan, Ramadhan adalah timbangan satu tahun, dan haji adalah timbangan sepanjang usia. Semoga Allah berkenan menghadiahkan hidayah taufik.” (Zadul Ma’ad, juz 1, hlm. 386, poin ke-23)
(*Agama yang disyariatkan Allah untuk umat para nabi terdahulu maupun umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallampen. )
Teladan Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان الإكثار من العبادات فكان جبريل عليه الصلاة و السلام يدارسه القرآن في رمضان وكان إذا لقيه رمضان أجود بالخير من الريح المرسلة وكان أجود الناس وأجود ما يكون في رمضان يكثر فيه من الصدقة والإحسان وتلاوة القرآن والصلاة والذكر والإعتكاف
“Di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan adalah memperbanyak ibadah. Jibril ‘alaihishshalatu wassalam mengajarkan Al Quran kepada beliau saat Ramadhan. Jika Ramadhan tiba, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih dermawan bagai angin yang berembus; beliau adalah manusia yang paling dermawan dan menjadi semakin dermawan di bulan Ramadhan. Kala itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak bersedekah, berbuat kebajikan, membaca Al Quran, shalat, berzikir, dan beri’tikaf.” (Zadul Ma’ad, juz 2, hlm. 30)
Mereka sibuk membaca dan merenungi Al Quran
عن منصور، عن إبراهيم، قال: كان الأسود يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين، وكان ينام بين المغرب والعشاء وكان يختم القرآن في غير رمضان كل ست ليال.
Dari Manshur dari Ibrahim; dia berkata, “Aswad mengkhatamkan Al Quran setiap dua malam selama bulan Ramadhan. Dia tidur antara maghrib dan isya. Pada selain bulan Ramadhan, dia mengkhatamkan Al Quran setiap enam malam.” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 250)
أنه كان يختم القرآن في كل سبع ليال مرة، فإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاث ليال مرة، فإذا جاء العشر ختم في كل ليلة مرة
“Sungguh, Qatadah mengkhatamkan Al Quran tiap tujuh malam. Kemudian jika bulan Ramadhan tiba, dia mengkhatamkan Al Quran tiap tiga malam. Kemudian, jika sepuluh hari terakhir Ramadhan datang, dia mengkhatamkan Al Quran sekali dalam semalam.” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 364)
كان أبو رجاء يختم بنا في قيام رمضان لكل عشرة أيام.
“Abu Raja’ mengkhatamkan Al Quran saat mengimami qiyamul lail di bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 348)
Mereka sibuk berdoa
عن أبي عمرو الأوزاعي، قال: كان يحيى بن أبي كثير يدعو حضرة شهر رمضان: اللهم سلمني لرمضان وسلم لي رمضان وتسلمه مني متقبلاً.
Dari Abu ‘Amr Al-Auza’i; dia berkata, “Yahya bin Abi Katsir berdoa memohon kehadiran bulan Ramadhan, ‘Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku.’” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 420)
Mereka sibuk bersedekah
عن مغيرة، قال: كان عبد الرحمن بن أبي نعم يفطر في رمضان مرتين، وكنا إذا قلنا له كيف أنت يا أبا الحكم؟ قال: إن نكن أبراراً فكرام أتقياء، وإن نكن فجاراً فلئام أشقياء.
Dari Mughirah; dia berkata, “Abdurrahman bin Abi Ni’am menyediakan hidangan buka puasa sebanyak dua kali saat Ramadhan. Jika kami berkata kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai Abul Hikam?’ maka dia berujar, ‘Jika kita adalah pelaku kebajikan, betapa mulia orang-orang yang bertakwa. Jika kita adalah pendosa, betapa terhinanya orang-orang yang celaka.’” (Hilyatul Auliya’, juz 2, hlm. 292)
عن الصلت بن بسطام قال: كان حماد بن أبي سليمان يفطر كل ليلة في شهر رمضان مائة إنسان. فإذا كان ليلة الفطر كساهم ثوبا ثوبا وأعطاهم مائة مائة.
Dari Ash-Shultu bin Bashtham; dia berkata, “Setiap malam, Hammad bin Abi Sulaiman menyajikan hidangan buka puasa untuk seratus orang selama bulan Ramadhan. Jika malam Idul Fitri telah tiba, dia akan membagikan pakaian kepada mereka satu per satu, serta memberi mereka uang masing-masing seratus.” (Al-Karamu wal Juwdu wa Sakha’un Nufusi, juz 1, hlm. 5)
Maraji’:
Al-Karamu wal Juwdu wa Sakha’un Nufusi, Al-Barjalani, Maktabah Asy-Syamilah.
Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Subhul A’sya, Al-Qalqasyindi, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Athirah Ummu Asiyah
Muraja’ah: Ustadz  Ammi Nur Baits

Continue reading →

Berkah Makan Sahur

1 komentar

Ketahuilah bahwa dalam makan sahur terdapat keberkahan, artinya kebaikan yang banyak dan tetap terus ada. Makan sahur adalah suatu hal yang disunnahkan dan dianjurkan untuk diakhirkan.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

"Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan." (Muttafaqun 'alaih)

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1. Anjuran untuk makan sahur.

2. Makan asalnya mubah (boleh). Namun jika makan seperti ini diniatkan untuk taqorrub (mendekatkan diri) pada Allah, maka bisa berubah menjadi hal yang disunnahkan. Intinya, perkara mubah bisa berubah menjadi sunnah dengan niat seperti dalam makan sahur.

3. Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengakhirkan makan sahur karena kata sahur dalam bahasa Arab dimaksudkan untuk akhir malam.

4. Kata 'sahuur' berbeda dengan kata 'suhuur'. Sahuur berarti makanan yang dimakan di waktu sahur. Sedangkan suhuur bermakna aktivitas makan sahur. Jadi yang satu berarti makanan dan yang lain berarti (aktivitas) makan.

5. Yang dimaksud dengan barokah adalah bertambah dan tumbuh. Hadits ini menerangkan barokah itu ada pada makan sahur. Dan yang menetapkan barokah seperti ini adalah Allah. Sehingga barokah itu bukan datang dari benda itu sendiri, namun dianugerahkan oleh Allah.

Demikian di antara faedah dari hadits anjuran makan sahur. Moga bermanfaat.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik dalam ilmu dan amal.



Sumber: Syarh 'Umdatul Ahkam, Syaikhuna Dr. Sa'ad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Dar Kunuz, thn 1429 H

Continue reading →

Bila Waktu Berbuka Tiba

0 komentar


  1. Segerakan berbuka

     Berdasarkan hadits:

    لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ

    Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.[1]

  2. Doa berbuka puasa

    ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

    Telang hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Alloh.[2]


  3. Jangan berlebihan

     Berdasarkan hadits:

    كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُفْطِرُ عَلىَ رُطُبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيْ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطُبَاتٍ فَعَلىَ تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

    Adalah rasulullah berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat. Apabila tidak ada kurma basah, beliau berbuka dengan kurma kering, apabila tidak ada kurma kering, beliau berbuka dengan air.[3]


  4. Memberi makan orang yang berbuka puasa

     Keutamaan memberi makan orang yang berbuka puasa tertuang dalam hadits berikut:

    مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرُ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

    Barangsiapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala semisal orang yang berpuasa, tanpa dikurangi dari pahala orang yang berpuasa sedikitpun.[4]


Footnote:

[1] HR.Bukhari 1957, Muslim 1098
[2] HR.Abu Dawud 2357, Nasai dalam amal Yaum wal Lailah no.299, Ibnu Sunni 480, Hakim 1/422, Baihaqi 4/239. Dihasankan oleh Daroquthni dalam sunannya no.240. disetujui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis 2/802, al-Albani dalam al-Irwaa no.920
[3] HR.Abu Dawud 2356, Tirmidzi 696, Ahmad 3/163, Ibnu Khuzaimah 3/227, Hakim 1/432, Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Irwaa no.922
[4] HR.Tirmidzi 807, Ahmad 28/261, Ibnu Majah 1746. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi 807

Continue reading →
Kamis, 19 Juli 2012

Besok Puasa

0 komentar




Continue reading →

Tips Khatam 10 Hari

0 komentar




Continue reading →

Do'a Berbuka Puasa

0 komentar





Continue reading →
Minggu, 15 Juli 2012

كيف نستعد لقدوم شهر رمضان ؟

0 komentar

كيف نستعد لرمضان ؟ وما هي أفضل الأعمال لهذا الشهر الكريم ؟



الحمد لله
أولاً :
قد أحسنت أخي الفاضل بسؤالك هذا ، حيث سألت عن كيفية الاستعداد لشهر رمضان ؛ حيث انحرف فهم كثير من الناس لحقيقة الصيام ، فراحوا يجعلونه موسماً للأطعمة والأشربة والحلويات والسهرات والفضائيات ، واستعدوا لذلك قبل شهر رمضان بفترة طويلة ؛ خشية من فوات بعض الأطعمة ؛ أو خشية من غلاء سعرها ، فاستعد هؤلاء بشراء الأطعمة ، وتحضير الأشربة ، والبحث في دليل القنوات الفضائية لمعرفة ما يتابعون وما يتركون ، وقد جهلوا - بحق – حقيقة الصيام في شهر رمضان ، وسلخوا العبادة والتقوى عنه ، وجعلوه لبطونهم وعيونهم .
ثانياً :
وانتبه آخرون لحقيقة صيام شهر رمضان فراحوا يستعدون له من شعبان ، بل بعضهم قبل ذلك ، ومن أوجه الاستعداد المحمود لشهر رمضان :
1- التوبة الصادقة .
وهي واجبة في كل وقت ، لكن بما أنه سيقدم على شهر عظيم مبارك فإن من الأحرى له أن يسارع بالتوبة مما بينه وبين ربه من ذنوب ، ومما بينه وبين الناس من حقوق ؛ ليدخل عليه الشهر المبارك فينشغل بالطاعات والعبادات بسلامة صدر ، وطمأنينة فلب .
قال تعالى : ( وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ) النور/ من الآية 31 .
وعَنْ الأَغَرَّ بن يسار رضي الله عنه عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ ) رواه مسلم ( 2702 ) .
2- الدعاء .
وقد ورد عن بعض السلف أنهم كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم رمضان ، ثم يدعونه خمسة أشهر بعدها حتى يتقبل منهم .
فيدعو المسلم ربَّه تعالى أن يبلِّغه شهر رمضان على خير في دينه في بدنه ، ويدعوه أن يعينه على طاعته فيه ، ويدعوه أن يتقبل منه عمله .
3- الفرح بقرب بلوغ هذا الشهر العظيم .
فإن بلوغ شهر رمضان من نِعَم الله العظيمة على العبد المسلم ؛ لأن رمضان من مواسم الخير ، الذي تفتح فيه أبواب الجنان ، وتُغلق فيه أبواب النيران ، وهو شهر القرآن ، والغزوات الفاصلة في ديننا .
قال الله تعالى : ( قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ ) يونس/58 .
4- إبراء الذمة من الصيام الواجب .
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ : سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ .
رواه البخاري ( 1849 ) ومسلم ( 1146 ) .
قال الحافظ ابن حجر – رحمه الله - :
ويؤخذ من حرصها على ذلك في شعبان أنه لا يجوز تأخير القضاء حتى يدخل رمضان آخر .
" فتح الباري " ( 4 / 191 ) .
5- التزود بالعلم ليقف على أحكام الصيام ، ومعرفة فضل رمضان .
6- المسارعة في إنهاء الأعمال التي قد تشغل المسلم في رمضان عن العبادات .
7- الجلوس مع أهل البيت من زوجة وأولاد لإخبارهم بأحكام الصيام وتشجيع الصغار على الصيام .
8- إعداد بعض الكتب التي يمكن قراءتها في البيت ، أو إهداؤها لإمام المسجد ليقرأها على الناس في رمضان .
9- الصيام من شهر شعبان استعداداً لصوم شهر رمضان .
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لا يَصُومُ ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ .
رواه البخاري ( 1868 ) ومسلم ( 1156 ) .
عَنْ أُسَامَة بْن زَيْدٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ ، قَالَ : ( ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ ) .
رواه النسائي ( 2357 ) وحسَّنه الألباني في " صحيح النسائي " .
وفي الحديث بيان الحكمة من صوم شعبان ، وهو : أنه شهر تُرفع فيه الأعمال ، وقد ذكر بعض العلماء حِكمة أخرى ، وهي أن ذلك الصوم بمنزلة السنة القبلية في صلاة الفرض ، فإنها تهيئ النفس وتنشطها لأداء الفرض ، وكذا يقال في صيام شعبان قبل رمضان .
10- قراءة القرآن .
قال سلمة بن كهيل : كان يقال شهر شعبان شهر القراء .
وكان عمرو بن قيس إذا دخل شهر شعبان أغلق حانوته وتفرغ لقراءة القرآن .
وقال أبو بكر البلخي : شهر رجب شهر الزرع ، وشهر شعبان شهر سقي الزرع ، وشهر رمضان شهر حصاد الزرع .
وقال – أيضاً - : مثل شهر رجب كالريح ، ومثل شعبان مثل الغيم ، ومثل رمضان مثل المطر ، ومن لم يزرع ويغرس في رجب ، ولم يسق في شعبان فكيف يريد أن يحصد في رمضان . وها قد مضى رجب فما أنت فاعل في شعبان إن كنت تريد رمضان ، هذا حال نبيك وحال سلف الأمة في هذا الشهر المبارك ، فما هو موقعك من هذه الأعمال والدرجات .
ثالثاً :
ولمعرفة الأعمال التي ينبغي على المسلم فعلها في شهر رمضان : انظر جواب السؤال رقم (26869 ) .
والله الموفق .
الإسلام سؤال وجواب


Continue reading →

Puasa Karena Iman dan Ikhlas

0 komentar

"Barangsiapa berpuasa karena iman dan ikhlas, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni."

Kalimat di atas adalah kutipan dari hadits Abu Hurairah di mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud karena iman adalah membenarkan wajibnya puasa dan ganjaran dari Allah ketika seseorang berpuasa dan melaksanakan qiyam ramadhan. Sedangkan yang dimaksud “ihtisaban” adalah menginginkan pahala Allah dengan puasa tersebut dan senantiasa mengharap wajah-Nya." (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 7: 22). Intinya, puasa yang dilandasi iman dan ikhlas itulah yang menuai balasan pengampunan dosa yang telah lalu.

Salah seorang ulama di kota Riyadh, Syaikh 'Ali bin Yahya Al Haddady hafizhohullah memberikan faedah tentang hadits di atas:
  1. Amalan yang dilakukan seseorang tidaklah manfaat sampai ia beriman kepada Allah dan mengharapkan pahala dari Allah (baca: ikhlas). Jika seseorang melakukan amalan tanpa ada dasar iman seperti kelakuan orang munafik atau ia melakukannya dalam rangka riya' )(ingin dilihat orang lain) atau sum'ah (ingin didengar orang lain) sebagaimana orang yang riya', maka yang diperoleh adalah rasa capek dan lelah saja. Kita berlindungi pada Allah dari yang demikian.
  2. Sebagaimana orang yang beramal akan mendapatkan pahala dan ganjaran, maka merupakan karunia Allah ia pun mendapatkan anugerah pengampunan dosa -selama ia menjauhi dosa besar-.

  3. Keutamaan puasa Ramadhan bagi orang yang berpuasa dengan jujur dan ikhlas adalah ia akan memperoleh pengampunan dosa yang telah lalu sebagai tambahan dari pahala besar yang tak hingga yang ia peroleh.
  4. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang lain, pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah pengampunan dosa kecil. Adapun pengampunan dosa besar maka itu butuh pada taubat yang khusus sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Di antara shalat yang lima waktu, di antara Jum'at yang satu dan Jum'at yang berikutnya, di antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, maka itu akan menghapuskan dosa di antara dua waktu tadi selama seseorang menjauhi dosa besar." (HR. Muslim).
[Sumber: http://haddady.com/ra_page_views.php?id=311&page=19&main=7]

Semoga amalan puasa kita bisa membuahkan pengampunan dosa yang telah lalu.

Wallahu waliyyut taufiq.

Kotagede, 24 Sya'ban 1432 H (26/07/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: www.muslim.or.id



Continue reading →
Selasa, 10 Juli 2012

Resep Minuman Segar Dingin Es Kacang Hijau

0 komentar


Bahan membuat Minuman Dingin Es Kacang Hijau:

  • 200 gram kacang hijau, cuci, rendam
  • 2 lembar daun pandan
  • 2 gelas air
  • 200 gram gula merah dan 1gelas air, masak lalu saring
  • 10 buah daging buah nangka, potong-potong
  • 1/2 gelas santan kental dari 1/4 butir kelapa
  • Susu kental manis secukupnya
  • Es batu secukupnya


Cara membuat Minuman Dingin Es Kacang Hijau:

Kacang, pandan, air didihkan sampai empuk.
Sajikan kacang hijau dengan nangka, santan, susu kental manis, es.


Continue reading →
Senin, 09 Juli 2012

Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan

0 komentar

Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama.

Perbedaan pendapat seperti ini sudah dikenal luas di kalangan ulama bahkan masyarakat pada umumnya. Syariat telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contohnya adalah ibadah puasa di bulan Ramadhan, Allah سبحانه وتعلى mengaitkannya dengan hilal. Allah سبحانه وتعلى berfirman yang artinya, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).

Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.

Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah;

PENDAPAT PERTAMA:

Jika hilal telah terlihat di suatu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat Imam Ahmad.

Dalil pendapat pertama:
Firman Allah سبحانه وتعلى, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ayat ini berlaku bagi setiap orang yang melihat bulan (hilal) tanpa memandang adanya perbedaan mathla’ (tempat terbitnya bulan) atau pun teritorial negara.

Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم,
فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّون
“Hari berpuasa adalah hari kuam Muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

PENDAPAT KEDUA:

Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah.

PENDAPAT KETIGA:

Apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negara lainnya, maka masing-masing negara memiliki rukyat hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri. Dan apabila mathla’nya tidak berbeda, maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan rukyat hilal tempat yang lain. Dengan kata lain, pendapat ini hampir sama dengan pendapat kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teritorial negara. Sehingga setiap negara yang berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, dan ini tidak berlaku untuk negara yang saling berdekatan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328).

Namun demikian, ulama yang berpendapat demikian berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada pula yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga.

Dalil Pendapat Ketiga:
Firman Allah سبحانه وتعلى
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).

Pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan rukyatnya atas setiap orang, namun yang dimaksud adalah orang-orang yang berada pada tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap wilayah yang mathla’nya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilalnya berbeda, maka dalil ini tidak bisa dijadikan patokan baik hakekatnya atau pun secara hukum.

Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksudnya, perintah berpuasa di sini adalah bagi setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya sama dengan orang yang melihat hilal, maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa berlaku baginya. Dan bukan ditujukan bagi mereka yang mathla’ hilalnya berbeda.

Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu yang didasarkan pada terbitnya bulan sama dengan penentuan waktu hari yang didasarkan pada terbitnya matahari, maka setiap daerah tentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya. Pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak lain. Maka dengan demikian, barangsiapa yang tinggal di bagian timur, maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di daerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.

Maka dalam kondisi yang demikian, jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulan pun harus demikian.

Dalam masalah ini, sebagai contoh, ayat yang mengatakan (artinya), “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 187). Demikian pula hadits Nabi  yang mengatakan, “...Apabila matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa berbuka.” (HR. Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 1100) tidak mungkin seseorang mengatakan berlaku umum untuk semua kaum Muslimin di belahan bumi mana saja dia berada, karena waktu terbenamnya matahari tidak sama di setiap daerah. (Lihat Fatawa Ulama al Baladul Haram, hal 285-286, dengan perubahan dari redaksi).

Mereka juga berdalil dengan hadits dari Kuraib, yang diutus oleh Ummu Fadhl binti al Harits untuk menemui Muawiyah. Dia berkata, “Aku tiba di Syam dan aku laksanakan peritah Al Fadhl, bertepatan dengan munculnya hilal bulan Ramadhan. Ketika aku berada di Syam, aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jumat.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku, “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Muawiyah turut berpuasa.” Abdullah bin Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau jika kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “Tidak cukupkah kita mengikuti rukyat hilal Muawiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah صل اللة عليه وسلم memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin dan Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, “Dan pendapat inilah yang lebih kuat, baik ditinjau dari sisi zhahir lafazh dalil-dalil yang ada, nazhar (ijtihad yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu yang didasarkan pada bulan terhadap waktu yang didasarkan pada matahari.”

PENDAPAT KEEMPAT:

Perkara yang demikian dikembalikan kepada waliyul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka (lebaran) yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan rukyat hilal dan bukan berdasarkan hisab semata), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya.

Dalil Pendapat Keempat
Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم
“Hari berpuasa adalah hari kuam Muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata dalam Syarhul Mumti’ (VI/322) sebagai berikut, “Inilah—yaitu berpuasa bersama negara masing-masing—yang dipraktikkan oleh kaum Muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat perbedaan mathla’ (pendapat ketiga—red.) wajib.”

Demikian pula Lajnah Dâimah dan Majelis Tinggi Ulama dan Lembaga Fatwa dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan fatwa yang ke empat ini.

Ini pulalah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Tamâmul Minnah (hal. 398) meskipun beliau lebih cenderung memilih pendapat ittihadul mathali’ (pendapat pertama).-AL FIKRAH-
Wallohu A’lam Bishshowab
Continue reading →
Minggu, 08 Juli 2012

Sudah Benarkah Niat Anda?

0 komentar


Anda pernah menjalani operasi? Atau paling tidak anda memiliki saudara yang pernah menjalaninya?

Bila pernah, coba diingat kembali kenangan yang pernah anda lalui itu. Mungkin saja dokter yang menangani anda, meminta anda agar berpuasa selama beberapa jam, bahkan kadang kala anda harus berpuasa sampai 8 jam lamanya.

Nah, apakah ketika anda menjalani puasa 8 jam itu terbetik di hati anda harapan mendapat pahala dari Allah, walau hanya sedikit? Atau mungkin juga pahala dari dokter yang menangani anda?

Apa yang membedakan puasa itu dengan puasa yang sedang anda amalkan sekarang ini? Puasa yang sedang anda amalkan di bulan ini, begitu besar pahalanya,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ. رواه مسلم

"Shalat lima waktu, shalat jum'at hingga shalat jum'at selanjutnya, dan puasa bulan ramadhan hingga puasa bulan Ramadhan selanjutnya adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi diantaranya, selama pelakunya menghindari dosa-dosa besar." (Riwayat Muslim)

Bila demikian, apa yang menjadikan puasa di bulan ini memiliki keutamaan yang begitu besar, Sedangkan puasa yang diperintahkan oleh pak dokter, tidak?

Coba anda renungkan, apa perbedaan antara keduanya?

Saya yakin, spontan anda akan berkata: Sangat besar perbedaannya. Tapi coba anda mulai menuliskan perbedaan itu di secarik kertas, ada berapa perbedaankah yang berhasil anda tuliskan?

Ketahuilah saudaraku! semakin banyak jumlah perbedaan yang berhasil anda tuliskan, berarti semakin besar pula pemahaman anda tentang puasa Ramadhan. Dan semakin besar pengetahuan anda semakin besar pula pahala yang –insya Allah- berhasil anda dapatkan darinya.

Sebaliknya, semakin sedikit perbedaan yang berhasil anda sebutkan, maka itu indikasi bahwa pahala puasa anda juga sedikit.

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ. رواه أحمد وحسنه الألباني

"Mungkin saja orang yang berpuasa, dari puasanya itu hanya mendapatkan rasa lapar dan haus saja." (Riwayat Ahmad, dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Saudaraku! Apakah anda rela bila perjuangan anda bangun pagi makan sahur, selanjutnya menahan lapar dan haus hingga terbenam matahari, sia-sia begitu saja? Bukan pahala yang anda dapatkan, akan tetapi yang anda dapatkan hanyalah derita lapar dan haus belaka.

Anda tidak ingin petaka itu menimpa anda? Anda ingin tahu kiatnya?

Temukan jawabannya pada ucapan Abu Bakar bin Abdillah Al Muzani berikut:

مَا فَضَلَ أَبُو بَكْرٍ رضي الله عنه النَّاسَ بِكَثْرَةِ صِيَامٍ وِلاَ صَلاَةٍ، وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي صَدْرِهِ

"Tidaklah Abu Bakar radhiallahu 'anhu berhasil mengungguli orang lain dikarenakan ia lebih banyak berpuasa dan shalat, akan tetapi ia mengungguli mereka dengan sesuatu yang tertanam di dalam dadanya."

Inilah jawabannya! Isi hati beliaulah yang menjadikannya berhasil mengungguli seluruh umat Islam.

Beliau tidak pernah berpuasa di bulan ramadhan lebih dari satu bulan, dan dalam satu hari juga shalat fardhu yang beliau lakukan hanya lima waktu dan demikian juga lainnya.

Yang membedakan beliau dari lainnya ialah niatnya. Beliau berpuasa sama dengan kita, akan tetapi niat puasa beliau jauh lebih baik dari niat puasa kita.

Sekedar menggambarkan perincian niat para ulama' maka berikut saya sebutkan beberapa jenis-jenis niat dalam suatu amalan:


  1. Niat menjalankan ibadah kepada Allah dengan berpuasa di bulan Ramadhan.

    Ini adalah niat yang paling utama dan paling mendasar. Tanpa niat ini amalan anda tidak akan diterima Allah, dan tidak bernilaikan ibadah, bahkan bisa saja puasa anda berubah menjadi amal kemaksiatan.

    قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ. رواه مسلم

    Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman: "Aku adalah Dzat Yang paling tidak membutuhkan kepada persekutuan, karenanya barang siapa yag mengamalkan suatu amalan sedangkan padanya ia menyekutukan Aku dengan selain Aku, niscaya Aku meninggalkannya bersama sekutunya itu." (Riwayat Muslim)

    Niat inilah yang membedakan antara anda sebagai seorang yang beragama Islam dengan orang-orang kafir, atau musyrik.

    Walaupun niat jenis ini adalah niat yang paling mendasar dan pokok, akan tetapi niat inilah yang paling sering kita lalaikan.

    Sudahkah anda senantiasa menghadirkan niat jenis pertama ini dalam ibadah puasa anda?
  2. Niat meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ibadah puasanya, atau yang sering disebut dengan ittiba'.

    Coba sekarang anda membayangkan, seakan-akan anda sedang mengamati gerak-gerik dan etika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama menjalankan puasa Ramadhan, seakan-akan anda hidup bersama beliau. Apakah perasaan anda kala itu sama dengan perasaan pada hari-hari sebelumnya?

    Niat semacam ini adalah niat kedua yang paling mendasar agar puasa anda bernilai ibadah dan mendatangkan puasa. Walau demikian, ternyata niat semacam ini sering kali terlupakan, bukankah demikian saudaraku?

    Apalah artinya puasa anda bila ternyata anda berpuasa hanya sekedar mengikuti kebiasaan dan perilaku orang lain?! Berpuasa hanya mengikuti perilaku masyarakat tidaklah ada gunanya di sisi Allah.

    Apa yang selama ini anda lakukan, yaitu hanyut dengan perilaku masyarakat tanpa menyadari teladan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ibadah puasa menjadikan puasa anda tidak bernilai ibadah, sikap anda itu hanyalah menjadikan puasa anda bernilai tradisi belaka.

    عِبَادَاتُ أَهْلِ الغَفْلَةِ عَادَاتٌ

    "Amal ibadah orang-orang yang lalai hanyalah bernilaikan adat istiadat."

    Dan perilaku seperti inilah yang dimaksudkan dalam hadits tanya jawab malaikat Mungkar dan Nakir di alam kubur:

    مَا كُنْتَ تَقُولُ فِى هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم ؟ فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِى، كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ. فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ. ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلاَّ الثَّقَلَيْن. رواه البخاري

    "Apa yang dahulu engkau katakan/yakini tentang orang ini, yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?" Si mayitpun menjawab: "Aku tidak tahu, dahulu aku hanya membeo dengan apa yang diyakini oleh masyarakat banyak." Maka dikatakan kepadanya: "Engkau tidak tahu dan juga tidak pernah membaca?" Selanjutnya ia dipukul dengan palu dari besi tepat di tengah-tengah antara ke dua telinganya, sehingga menjadikannya kesakitan dan menjerit dengan jeritan yang dapat didengarkan oleh seluruh yang ada di sekitarnya selain jin dan manusia." (Riwayat Bukhary)

    Apakah anda rela tergolong ke dalam orang-orang yang dikisahkan dalam hadits ini? Tentu tidak.

  3. Niat menjalankan kewajiban atau rukun Islam.

    Niat inilah yang biasanya disebut-sebut oleh para da'i dan penceramah pada setiap bulan ramadhan. Niat jenis ini hanya berfungsi sebagai syarat sah atau tidaknya puasa anda. Niat ini hanya bertujuan menggugurkan kewajiban belaka, akan tetapi niat ini, bila tidak disertai oleh kedua niat di atas, tidak cukup untuk mendatangkan pahala di sisi Allah.

  4. Niat mendahulukan keridhaan Allah daripada kesenangan pribadi.

    Betapa tidak, ketika anda berpuasa, anda meninggalkan berbagai hal yang anda cintai, makan, minum, bergaul dengna istri, semuanya anda tinggalkan karena mendahulukan perintah Allah. Semua hal yang anda cintai itu, dengan hati yang tulus anda tinggalkan hanya karena mencari keridhaan Allah semata.

    يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى. متفق عليه

    "Orang yang berpuasa meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya hanya karena Aku." (Muttafaqun 'alaih)

    Bila anda telah kuasa mendahulukan keridhaan Allah dibanding kepuasan diri anda, maka itu adalah bekal untuk menggapai dan menikmati manis dan indahnya keimanan.

    ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه

    "Tiga hal, barang siapa yang ketiganya ada pada dirinya, niscaya ia akan mendapatkan/merasakan manisnya keimanan (ketiga hal itu ialah): Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain keduanya, dan ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah, dan ia membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah ia diselamatkan Allah darinya, bagaikan kebenciannya bila hendak dicampakkan ke dalam api." (Muttafaqun 'alaih)

    Niat ini adalah niat yang sangat tinggi, dan mungkin saja untuk saat ini, niat ini terasa begitu berat untuk kita miliki. Tidak heran, bila kita senantiasa merasa tidak sabar untuk segera berbuka puasa, dan bahkan sekedar matahari terbenam, balas dendam dan pelampiasan diri segera kita lancarkan. Makan dan minum sebanyak-banyaknya, sampai terasa susah untuk berdiri? Bukankah demikian?

  5. Sebagai upaya membangun benteng pelindung dari sengatan api neraka.

    Pada kesempatan yang lalu saya telah menyebutkan bahwa diantara manfaat dan tujuan ibadah puasa ialah menebus benteng atau perisai yang dapat melindungi diri anda dari sengatan panas api neraka.

    الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ ، مَرَّتَيْنِ. رواه البخاري

    "Puasa adalah perisai, maka orang yang sedang berpuasa hendaknya tidak berkata-kata keji dan berperilaku layaknya orang-orang bodoh (semisal berteriak-teriak-pen). Dan bila ada seseorang yang memerangi atau mencacinya, hendaknya ia membela diri dengan berkata: 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa, 2 kali.'" (Riwayat Bukhari)

    Dan pada riwayat lain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ صَامَ يَوْمًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا. متفق عليه

    "Barang siapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, niscaya Allah akan menjauhkan dirinya dari api neraka sejauh perjalanan 70 tahun." (Muttafaqun 'alaih)

    Pernahkah, harapan semacam ini terbetik dalam hati anda selama anda menjalankan ibadah puasa?


Dan masih banyak lagi niat dan harapan yang seyogyanya anda miliki, agar puasa anda semakin sempurna dan pahala yang anda perolehpun semakin besar.

Apa yang saya paparkan di sini hanyalah sekedar upaya saya mengingatkan anda untuk lebih banyak mengkaji berbagai rahasia dan hikmah yang tersimpan di balik ibadah puasa anda.

Semoga Allah Ta'ala senantiasa melimpahkan kerahmatan dan ilmu yang bermanfaat kepada anda, sehingga anda berhasil menggapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Amiin. Wallahu a'alam bisshawab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Continue reading →

Sibukkan Juga Bulan Sya'ban dengan Bacaan Al-Qur'an

0 komentar

Ternyata salaf memberi petunjuk pada kita untuk memperbanyak membaca Qur’an sejak dari bulan Sya’ban, bukan hanya di bulan Ramadhan. Sebagaimana bulan Ramadhan kita dituntunkan untuk sibuk dengan Al Qur’an, maka sebagai pemanasan aktivitas mulia tersebut sudah seharusnya dimulai dari bulan Sya’ban.

قال سلمة بن كهيل : كان يقال شهر شعبان شهر القراء

Salamah bin Kahiil berkata, “Dahulu bulan Sya’ban disebut pula dengan bulan membaca Al Qur’an.”

وكان عمرو بن قيس إذا دخل شهر شعبان أغلق حانوته وتفرغ لقراءة القرآن 

‘Amr bin Qois ketika memasuki bulan Sya’ban, beliau menutup tokonya dan lebih menyibukkan diri dengan Al Qur’an.

وقال أبو بكر البلخي : شهر رجب شهر الزرع ، وشهر شعبان شهر سقي الزرع ، وشهر رمضان شهر حصاد الزرع 

Abu Bakr Al Balkhi berkata, “Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadhan saatnya menuai hasil.”

وقال – أيضاً - : مثل شهر رجب كالريح ، ومثل شعبان مثل الغيم ، ومثل رمضان مثل المطر ، ومن لم يزرع ويغرس في رجب ، ولم يسق في شعبان فكيف يريد أن يحصد في رمضان 

Abu Bakr Al Balkhi juga berkata, “Bulan Rajab seperti angin, bulan Sya’ban bagaikan mendung dan bulan Ramadhan bagaikan hujan. Siapa yang tidak menanam di bulan Rajab, lalu tidak menyiram tanamannya di bulan Sya’ban, maka jangan berharap ia bisa menuai hasil di bulan Ramadhan.”

[Terinspirasi dari bahasan Syaikh Sholih Al Munajjid di sini]

Masih tersisa 10 hari menjelang Ramadhan, masih ada waktu untuk menyibukkan diri dengan kalamullah (Al Qur’an).

Ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang selalu sibuk dengan Al Qur’an dan bisa terus mentadabburinya.

Wallahu waliyyut taufiq.



@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Sya’ban 1433 H (6 hours before take off from Riyadh to Jogja)
Continue reading →

Label

Renungan (15) Serba Serbi (8) Amalan (7) Download (6) Mp3 (2) Seputar Hukum (2) Sya'ban (2) Video (2) Resep (1)